Kamis, 03 Agustus 2017

Buddha di Indonesia


PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA
I.                   Pendahuluan
Pada pertemuan kali ini saya penyaji akan membahas tentang bagaimana Perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Bagaimana awal masuknya agama Buddha ke Indonesia dari zaman Kerajaan sampai pada zaman Orde Baru. Semoga apa yang saya bahas pada topik ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.                Pembahasan
2.1.       Latar Belakang Munculnya Agama Buddha
Ketika Buddha Gautama wafat pada tahun 483 s.M agaknya sudah banyak biara di sebelah Timur Laut India. Tidak ada orang yang dapat menggantikan kedudukan sang Buddha. Yang tinggal hanyalah ajarannya atau Dharmanya, yang pada waktu itu belum dibukukan. Dharma ini tinggal di dalam ingatan para Rahib saja. Oleh karena itu  dapat dimengerti lama kelamaan timbul bermacam-macam tradisi mengenai Dharma. Selain itu agaknya peraturan-peraturan sang Buddha mengenai hidup para rahib dipandang terlalu berat. Orang ingin meringankan peraturan-peraturan itu.
Persoalan-persoalan yang timbul itu menyebabkan bahwa pada tahun 383 s.M, seratus tahun setelah sang Buddha masuk nirwana, diadakan suatu muktamar yang besar di Rajgraha, Muktamar ini menurut ceritanya diikuti oleh 500 orang rahib. Dipinpin oleh Kasyapa yang Agung. Ada dua orang yang paling penting dalam maktamar ini, yang dipandang masih mengigat ajaran sang Buddha sendiri. Yang seorang bernama Uppala, yang dipandang sebagai pengenal winaya, dan yang lain bernama Ananda, yang dikenal sebagai pengenal Sutra. Didalam muktamar ini diputuskan bahwa mereka akan tetap berpegang pada peraturan-peraturan yang diberikan oleh sang Buddha sendiri, agar kaum awam jangan berpendapat bahwa sang biksu meninggalkan peraturan-peraturan sang Buddha.
Seratus tahun kemudian kesukaran timbul lagi. Para rahib di waisali telah menyimpang dari 10 hal yang telah ditentukan oleh jemaat. Oleh karena itu diadakan muktamur lagi. Muktamur ini menyalahkan rahib di waisali, dan memutuskan bahwa perbuatan para rahib ini waisali  itu bertentangan dengan Dharma.
Kejadian ini menyebabkan adanya perpecahan di antara pengikut sang Buddha. Golongan yang memegang teguh pada peraturan-peraturan Winaya yang menyebut dirinya Sthawirawada (jemaat para murid), sedang golongan yang lebih besar, yang menyetujui adanya perubahan menyebut dirinya Mahasamghiku ( anggota jemaat yang besar). Perpecahan yang terjadi di sinilah yang agaknya menyebabkan perpecahan-perpecahan yang lebih besar yaitu dalam Hinayana dan Mahayana.[1]

2.2.       Perkembangan Agama Buddha di Indonesia
Agama Buddha sebagai agama tua, dalam sejarah perkembangan Indonesia, pernah memberi sumbangan yang besar pada masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pada masa kejayaan dua kerajaan tersebut, baik agama Hindu dan Agama Buddha duduk berdampingan secara damai dan tidak mendominasi satu oleh lainnya.[2]
Selanjutnya prasasti-prasasti menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu (bukan agama Buddha). Tetapi dari apa yang sudah dikemukakan, yaitu tentang penemuan patung-patung Buddha  di beberapa bagian di Indonesia, jelaslah bahwa agama Buddha juga sudah memasuki Indonesi, sekalipun barangkali belum begitu meluas.[3]
Pertumbuhan Agama Buddha di Indonesia dilatarbelakangi letak wilayahnya yang strategis yaitu terletak diantara dua benua dan dua samudera. Hal itu yang menyebabkan pada zaman dahulu Indonesia di jadikan sebagai jalur pelayaran yang strategis antara India ke China ataupun sebaliknya. Para pedagang itu juga tidak semata-mata melakukan perdagangan di wilayah Nusantara, akan tetapi mereka juga berperan dalam proses penyebaran agama pada saat itu khususnya Hindu dan Buddha.
Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
Di Jawa juga berdiri kerajaan Buddha yaitu kerajaan Syailendra, tepatnya sekarang berada di Jawa Tengah, meskipun tidak sebesar kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini meninggalkan beberapa peninggalan penting yaitu candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang, salah satunya adalah Candi Borobudur. Candi ini adalah cerminan kejayaan agama Buddha di zaman lampau.Selain itu ditemukan juga lempengan batu berwarna di satu puing rumah bata yang diperkirakan kamar Bhiksu Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa Sansekerta yang ditulis dengan huruf Pallawa.[4]

2.2.1.      Sejarah Agama Buddha Secara Garis Besar
2.2.1.1.Buddhisme di Indonesia Zaman Kerajaaan
a.      Masa Zaman Kerajaan Sriwijaya
Kata “Sriwijaya” berasal dari Bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata yaitu “sri” berati cahaya dan “wijaya” berarti kemenangan. Jadi, Sriwijaya berarti “kemenangan yang bercahaya”, karena Sriwijaya adalah salah satu dari beberapa kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara. Kerajaan ini muncul pada abad ke-7 M dan dikenal sebagai kerajaan maritim yang kuat  dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.[5] Pada waktu itu Sriwijaya (Palembang) menjadi pusat agama Buddha. Di sana ada suatu perguruan tinggi Buddha, yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda, di India.[6]
b.      Masa Zaman Kerajaan di Jawa Tengah [7]
Pada zaman ini ada dua kerajaan di Jawa Tengah, yaitu: Kerajaan Dinasti Sanjaya dan Mataram, yang memeluk agama Siwa dan Dinasti Sailendra, yang memeleuk agama Buddha Mahayana.Di kerajaan Sailendra agama yang dipeluk oleh raja dan rakyatnya adalah agama Buddha Mahayana, sekalipun agaknya secara intensif agama ini hanya dipelihara oleh kalangan atas, yaitu kalangan istana dan para pujangga yang mempunyai hubungan erat dengan istana. Sekalipun demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama dengan di Sriwijaya, yang menjadi pusat agama Buddha.
c.       Masa Zaman Kerajaan Di Jawa Timur
Dalam perjalanan sejarah bangsa, proses pembentukan struktur pemerintahan dan wilayah Jawa Timur ternyata memiliki perjalanan sangat panjang. Dari sumber-sumber epigrafis dalam bentuk batu bertulis (Prasasti Dinoyo) diketahui bahwa sejak abad VIII, tepatntya tahun 760 di Jawa Timur telah muncul suatu satuan pemerintahan, Kerajaan Kanjuruhan di Malang.
Pada abad X, Jawa Timur menapaki fase baru. Jawa Timur yang semula merupakan wilayah pinggiran dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah.[8] Pada bagian permulaan prasasti setelah disebut nama Dewasimha. Dewasimha memerintahkan membuat patung Agastya dari batu hitam yang indah dan sebuah bangunan suci untuk tokoh terserbut. Menurut mitologi India, Resi Agastya ialah salah seorang ketujuh pendeta ( Septa Rsi) murid Dewa Syiwa. Karena kepandainya yang luar biasa dan melebihi keenam pendeta lainnya, maka resi ini diangkat sebagai wakil Dewa Syiwa untuk menyebarkan agama Hindu.Agama Tantra baik untuk aliran Syiwa maupun untuk aliran Buddha ternyata kemudian mendapat tempat yang baik pada jaman Singosari dan Majapahit, terutama pada pemerintahan Kartanegara yaitu raja Singosari yang terakhir dan masa-masa permulaan berdirinya kerajaan Majapahit.[9] Kerajaan ini termasuk kerajaan kuno di Indonesia yang berdiri pada tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya (1293 M).[10]
2.2.1.2.Buddha di Zaman Penjajahan
Pada tanggal 4 Maret 1934, Yang Mulia (Y.M.) Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens (Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst (Deputy Director General International Buddhist Mission, Java Section). Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
·       Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
·       Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
·       Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
·       Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari Kelenteng-Kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, Kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, Kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, Kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
·       Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi, salah satunya adalah Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawatja, tokoh umat Buddha Jawa Tengah yang kemudian menjadi anggota MPR, dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.[11]
Kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera memiliki arti penting dalam kebangkitan dan perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasa beliau, Buddhis Indonesia mengadopsi Era Buddhis (Buddhist Era) atau Tahun Buddhis berdasarkan pada penanggalan Era Buddhis yang digunakan oleh negara asal Y.M. Bhikkhu Narada Thera yaitu Sri Lanka. Pada zaman inilah Agama Buddha di Indonesia mulai menggeliat di ujung tidurnya.
Pada tahun yang sama dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan J.W. de Witt sebagai ketua, DR. R. Ng. Disamping itu dibentuk juga Java Buddhists Association Afdeeling Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. Van der Velde sebagai ketua dan Oeij Oen Ho sebagai sekretaris. Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Buddhists Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Buddhists Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists Association (BBA) dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay sebagai ketua dan Ny. Tjoa Hin Hoey seagai sekretaris. Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek Hoay menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association condong menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association yang condong menyebarkan ajaran Theravada.[12]

Pada jaman Kemerdekaan, perkembangan Agama Buddha dimulai kembali seiring dengan munculnya kembali organisasi-organisasi Buddhis yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Meskipun belum diakuinya Agama Buddha sebagai agama negara yang resmi pada jaman Orde Lama, tapi pada masa inilah, tepatnya tanggal 22 Mei 1953 telah diadakannya perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2497 Era Buddhis untuk pertama kalinya di Candi Borobudur.[13]
Setelah terhenti pada masa penjajahan Jepang, pada tahun 1952. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh mendiang Ong Tiang Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia (GAPAKSI). Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan Buddha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) pada tanggal 20 Februari 1952 di bawah pimpinan The Boan An. Pada tanggal 20 Februari 1953, pukul 12.00 WIB didirikan GSKI di Jakarta yang ditetapkan sebagai badan hukum dengan Penetapan Menteri Kehakiman RI No. JA5/31/13 tanggal 9 April 1953.[14]
Tanggal 21 Mei 1959, Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi Bhikkhu di “International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta. Pada hari yang sama I Ketut Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya dan Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Tanggal  3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu (pada tanggal 12-2-1976 sempat lepas jubah) oleh Y.M. Narada Mahathera. Tanggal 26 Juli 1988 ia ditahbiskan kembali di Wat Bovoranives, Bangkok dan diberi nama Thitaketuko.[15]
Dalam kasus Sri Lanka. Kasus Sri Lanka agak berbeda dengan di Indonesia. Jika Sri Langka berhasil menjadikan Buddha sebagai agama resmi Negara, maka perjuangan kaum Muslim di Indonesia justru gagal menjadikan Islam sebagai agama Negara. Dalam kasus Sri Langka, Partai berhaluan agama (Buddha) “menempel” dulu ke partai sekuler yang berkuasa, sebelum akhirnya berhasil meraih dukungan mayoritas untuk menjadikan Negara Sri Lanka sebagai “Negara Buddha.[16]
2.2.1.4.Buddhaisme Zaman Orde Baru
Perkembangan Agama Buddha pada zaman Orde Baru diawali dengan ditahbiskannya Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) menjadi Bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Yang Mulia (Y.M.) Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito, pada tanggal 15 November 1966. Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya Bhikkhu Jinapiya untuk lepas jubah, dan kembali menjadi umat Buddha biasa.[17]
Berdasarkan adanya situasi dan kondisi umat Buddha di Indonesia seperti itulah, maka pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Semarang, beberapa orang bhikkhu dan tokoh umat yaitu: Y.M. Bhikkhu Aggabalo, Y.M. Bhikkhu Khemasarano, Y.M. Bhikkhu Sudhammo, Y.M. Bhikkhu Khemiyo dan Y.M. Bhikkhu Nanavutto; Bapak Suratin MS, Bapak Mochtar Rasyid, dan Ibu Supangat, bersepakat untuk membentuk Sangha Theravada Indonesia.[18]
2.2.1.5.Buddha Zaman Reformasi
Sudah 64 tahun semenjak kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka pada 1934, hingga tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998. Perkembangan Agama Buddha di Indonesia terus mengalami dinamika. Berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2005 Departemen Agama Republik Indonesia, jumlah umat Buddha di Indonesia berjumlah 2.242.833 orang. Jumlah ini belum termasuk umat Buddha yang terdapat di pelosok-pelosok daerah.Berkembangnya media komunikasi seperti internet ikut mempengaruhi perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai situs (website) bernuansa Buddhis berbahasa Indonesia dan komunitas-komunitas Buddhis daring (online).
Pada tanggal 20 Agustus 1998 ditandatangani Konsensus Nasional Umat Buddha Indonesia dengan membentuk wadah baru dengan mengubah nama Perwalian Umat Buddha Indonesia menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Baru), dengan dibubarkannya.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2005 menjelang perayaan Waisak 2549, atas peran pemerintah sebagai mediator, telah terjadi kesepakatan bersama antara KASI dengan WALUBI-Baru mengenai perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur. Pada tahun 2006 untuk pertama kalinya KASI menyelenggarakan Waisak Nasional di pelataran Candi Borobudur.[19]
III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas saya  penyaji menyimpulkan bahwa ketika sang Buddha wafat, ia tidak meninggalkan pengajarannya berbentuk tulisan atau kitab tetapi ajarannya tersebut hanya tinggal pada ingatan para rahib saja. Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7.

IV.             Refleksi Teologis
Refleksi teologis yang dapat saya ambil dalam hal ini  adalah Matius 28:19-20 berbunyi “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." Sebagai mahasiswa teologi yang juga menjadi saksi dan murid Tuhan Yesus masa kini kita harus mengabarkan injil dan  memberitakan kebenaran Kristus melalui penyebaran Agama Kristen. Kita harus siap menjadi penerus-penerus Rasul-Rasul yang diutus oleh Yesus seperti yang tertulis di Lukas 10:1 “Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya.”  Tentu ada tuntutan bahwa kita sebagai murid Tuhan kita harus siap mengabarkan injil sampai ke ujung dunia, dengan segala tantangan dan rintangan yang kita hadapi dalam pemberitaan injil dan penyebaran agama Kristen Allah akan tetap setia menemani, memberkati kita jika kita juga setia kepada Tuhan seperi yang tertulis dalam Amsal 2:7-8 yang mengatakan bahwa “Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya, sambil menjaga jalan keadilan, dan memelihara jalan orang-orang-Nya yang setia.”. dan orang yang setia akan mendapatkan upah di sorga (Wahyu 17:14).

V.                Daftar Pustaka
Sumber Buku :
Hadiwijono Harun,Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 2003
Juangari Edij, Menabur Benih Dharma Di Nusantara, Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita, 1999
Kartini, Indriana Demokrasi dan Fundamentalisme Agama: Hindu di India, Buddha di Sri
Lanka dan Islam di Turki, CV.Andi Offset, 2015
PGI Tim Balitbang, Meletas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: Bpk
Gunung Mulia, 2007
Singgih D. S. Marga, Tridharma dari Masa ke Masa, Bakti, Jakarta, 1999
Wowor Cornelis, MA., 30 tahun Pengabdian Sangha Theravada IndonesiaAwal Sangha
Theravada Indonesia, 2006
Widyadharma Sumedha, Agama Buddha Dan Perkembangannya Di Indonesia, Tangerang: P.C. MAPANBUDHI, 1995.


Sumber Lain:


[1] Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003),87-88
[2] Tim Balitbang PGI, Meletas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), 235
[3]  Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, 109
[6]  Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, 110
[7] Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, 113,114
[9] Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di Nusantara , (Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita:1999), hlm. 10
[12]  Ir. Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di Nusantara , (Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita: 1999), hlm. 5.
[13] Ir. Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di Nusantara , hlm. 19-21 dan 4
[14] D. S. Marga Singgih, Tridharma dari Masa ke Masa, Bakti, (Jakarta:), 1999hlm. 5-6
[15] Sumedha Widyadharma, Agama Buddha Dan Perkembangannya Di Indonesia, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang, 1995
[16] Indriana Kartini, Demokrasi dan Fundamentalisme Agama: Hindu di India, Buddha di Sri Lanka dan Islam di Turki,( CV.Andi Offset:2015),149
[17] Sumedha Widyadharma, Agama Buddha Dan Perkembangannya Di Indonesia, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang, 1995.
[18]Cornelis Wowor, MA., 30 tahun Pengabdian Sangha Theravada IndonesiaAwal Sangha Theravada Indonesia, 2006, hlm. 98-99.