PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI
INDONESIA
I.
Pendahuluan
Pada
pertemuan kali ini saya penyaji akan membahas tentang bagaimana Perkembangan Agama
Buddha di Indonesia. Bagaimana awal masuknya agama Buddha ke Indonesia dari
zaman Kerajaan sampai pada zaman Orde Baru. Semoga apa yang saya bahas pada
topik ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.
Pembahasan
2.1.
Latar
Belakang Munculnya Agama Buddha
Ketika Buddha Gautama wafat pada tahun
483 s.M agaknya sudah banyak biara di sebelah Timur Laut India. Tidak ada orang
yang dapat menggantikan kedudukan sang Buddha. Yang tinggal hanyalah ajarannya
atau Dharmanya, yang pada waktu itu
belum dibukukan. Dharma ini tinggal di dalam ingatan para Rahib saja. Oleh
karena itu dapat dimengerti lama
kelamaan timbul bermacam-macam tradisi mengenai Dharma. Selain itu agaknya peraturan-peraturan sang Buddha mengenai
hidup para rahib dipandang terlalu berat. Orang ingin meringankan
peraturan-peraturan itu.
Persoalan-persoalan yang timbul itu
menyebabkan bahwa pada tahun 383 s.M, seratus tahun setelah sang Buddha masuk
nirwana, diadakan suatu muktamar yang
besar di Rajgraha, Muktamar ini menurut ceritanya diikuti oleh 500 orang rahib.
Dipinpin oleh Kasyapa yang Agung. Ada
dua orang yang paling penting dalam maktamar ini, yang dipandang masih mengigat
ajaran sang Buddha sendiri. Yang seorang bernama Uppala, yang dipandang sebagai pengenal winaya, dan yang lain bernama Ananda,
yang dikenal sebagai pengenal Sutra.
Didalam muktamar ini diputuskan bahwa mereka akan tetap berpegang pada
peraturan-peraturan yang diberikan oleh sang Buddha sendiri, agar kaum awam
jangan berpendapat bahwa sang biksu meninggalkan peraturan-peraturan sang
Buddha.
Seratus tahun kemudian kesukaran timbul
lagi. Para rahib di waisali telah
menyimpang dari 10 hal yang telah ditentukan oleh jemaat. Oleh karena itu
diadakan muktamur lagi. Muktamur ini menyalahkan rahib di waisali, dan
memutuskan bahwa perbuatan para rahib ini waisali itu bertentangan dengan Dharma.
Kejadian ini menyebabkan adanya
perpecahan di antara pengikut sang Buddha. Golongan yang memegang teguh pada
peraturan-peraturan Winaya yang menyebut dirinya Sthawirawada (jemaat para murid), sedang golongan yang lebih besar,
yang menyetujui adanya perubahan menyebut dirinya Mahasamghiku ( anggota jemaat yang besar). Perpecahan yang terjadi
di sinilah yang agaknya menyebabkan perpecahan-perpecahan yang lebih besar
yaitu dalam Hinayana dan Mahayana.[1]
2.2.
Perkembangan
Agama Buddha di Indonesia
Agama
Buddha sebagai agama tua, dalam sejarah perkembangan Indonesia, pernah memberi
sumbangan yang besar pada masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pada masa
kejayaan dua kerajaan tersebut, baik agama Hindu dan Agama Buddha duduk
berdampingan secara damai dan tidak mendominasi satu oleh lainnya.[2]
Selanjutnya
prasasti-prasasti menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu (bukan agama Buddha). Tetapi
dari apa yang sudah dikemukakan, yaitu tentang penemuan patung-patung Buddha di beberapa bagian di Indonesia, jelaslah
bahwa agama Buddha juga sudah memasuki Indonesi, sekalipun barangkali belum
begitu meluas.[3]
Pertumbuhan
Agama Buddha di Indonesia dilatarbelakangi letak wilayahnya yang strategis
yaitu terletak diantara dua benua dan dua samudera. Hal itu yang menyebabkan
pada zaman dahulu Indonesia di jadikan sebagai jalur pelayaran yang strategis
antara India ke China ataupun sebaliknya. Para pedagang itu juga tidak
semata-mata melakukan perdagangan di wilayah Nusantara, akan tetapi mereka juga
berperan dalam proses penyebaran agama pada saat itu khususnya Hindu dan
Buddha.
Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar
awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan
Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di
Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad
ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing
yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan
agama Buddha di sana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah
Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang
penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
Di Jawa juga berdiri kerajaan Buddha yaitu kerajaan
Syailendra, tepatnya sekarang berada di Jawa Tengah, meskipun tidak sebesar
kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini meninggalkan beberapa peninggalan penting
yaitu candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang, salah satunya
adalah Candi Borobudur. Candi ini adalah cerminan kejayaan agama Buddha di
zaman lampau.Selain itu ditemukan juga lempengan batu berwarna di satu puing
rumah bata yang diperkirakan kamar Bhiksu Buddha. Lempengan batu itu berisi 2
syair Buddhist dalam bahasa Sansekerta yang ditulis dengan huruf Pallawa.[4]
2.2.1.
Sejarah
Agama Buddha Secara Garis Besar
2.2.1.1.Buddhisme di
Indonesia Zaman Kerajaaan
a.
Masa
Zaman Kerajaan Sriwijaya
Kata “Sriwijaya” berasal
dari Bahasa Sanskerta yang mengandung dua suku kata yaitu “sri” berati cahaya
dan “wijaya” berarti kemenangan. Jadi, Sriwijaya berarti “kemenangan yang
bercahaya”, karena Sriwijaya adalah salah satu dari beberapa kerajaan terbesar
dalam sejarah Nusantara. Kerajaan ini muncul pada abad ke-7 M dan dikenal
sebagai kerajaan maritim yang kuat dengan daerah kekuasaan
membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
dan Sulawesi.[5]
Pada waktu itu Sriwijaya (Palembang)
menjadi pusat agama Buddha. Di sana ada suatu perguruan tinggi Buddha, yang
tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda,
di India.[6]
Pada
zaman ini ada dua kerajaan di Jawa Tengah, yaitu: Kerajaan Dinasti Sanjaya dan Mataram, yang memeluk agama
Siwa dan Dinasti Sailendra, yang
memeleuk agama Buddha Mahayana.Di kerajaan Sailendra agama yang dipeluk oleh
raja dan rakyatnya adalah agama Buddha Mahayana, sekalipun agaknya secara
intensif agama ini hanya dipelihara oleh kalangan atas, yaitu kalangan istana
dan para pujangga yang mempunyai hubungan erat dengan istana. Sekalipun
demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama dengan di Sriwijaya, yang menjadi
pusat agama Buddha.
c.
Masa
Zaman Kerajaan Di Jawa Timur
Dalam perjalanan sejarah bangsa, proses pembentukan struktur
pemerintahan dan wilayah Jawa Timur ternyata
memiliki perjalanan sangat panjang. Dari sumber-sumber
epigrafis dalam bentuk batu bertulis (Prasasti Dinoyo) diketahui
bahwa sejak abad VIII, tepatntya tahun 760 di Jawa Timur telah
muncul suatu satuan pemerintahan, Kerajaan Kanjuruhan di Malang.
Pada abad X, Jawa Timur menapaki fase baru.
Jawa Timur yang semula merupakan wilayah pinggiran dari Kerajaan
Mataram Kuno di Jawa Tengah.[8]
Pada bagian permulaan prasasti setelah disebut nama Dewasimha. Dewasimha
memerintahkan membuat patung Agastya dari batu hitam yang indah dan sebuah
bangunan suci untuk tokoh terserbut. Menurut mitologi India, Resi Agastya ialah
salah seorang ketujuh pendeta ( Septa
Rsi) murid Dewa Syiwa. Karena kepandainya yang luar biasa dan melebihi
keenam pendeta lainnya, maka resi ini diangkat sebagai wakil Dewa Syiwa untuk
menyebarkan agama Hindu.Agama Tantra baik untuk aliran Syiwa maupun untuk
aliran Buddha ternyata kemudian mendapat tempat yang baik pada jaman Singosari
dan Majapahit, terutama pada pemerintahan Kartanegara yaitu raja Singosari yang
terakhir dan masa-masa permulaan berdirinya kerajaan Majapahit.[9]
Kerajaan ini termasuk kerajaan kuno di Indonesia yang berdiri
pada tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden
Wijaya (1293 M).[10]
2.2.1.2.Buddha di Zaman Penjajahan
Pada
tanggal 4 Maret 1934, Yang Mulia (Y.M.) Bhikkhu Narada Thera dari Ceylon (Sri
Lanka) datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens
(Ketua Perhimpunan Teosofi cabang Indonesia) dan Pandita Josias van Dienst (Deputy
Director General International Buddhist Mission, Java Section). Selama
berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan.
Antara lain sebagai berikut:
· Memberikan
khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di
Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
· Memberkahi
penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
· Membantu
dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha
yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
· Menjalin
kerja-sama yang erat dengan bhiksu-bhiksu (hweshio-hweshio) dari
Kelenteng-Kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta,
Kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, Kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, Kelenteng
Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Teosofi di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat
dan Jawa-Tengah.
· Melantik
upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi,
salah satunya adalah Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawatja, tokoh umat Buddha
Jawa Tengah yang kemudian menjadi anggota MPR, dilantik menjadi upasaka di
Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.[11]
Kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera memiliki arti penting dalam
kebangkitan dan perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Untuk menghargai
jasa-jasa beliau, Buddhis Indonesia mengadopsi Era Buddhis (Buddhist Era)
atau Tahun Buddhis berdasarkan pada penanggalan Era Buddhis yang digunakan oleh
negara asal Y.M. Bhikkhu Narada Thera yaitu Sri Lanka. Pada zaman inilah Agama
Buddha di Indonesia mulai menggeliat di ujung tidurnya.
Pada tahun yang sama dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling
Batavia (Jakarta) dengan J.W. de Witt sebagai ketua, DR. R. Ng. Disamping
itu dibentuk juga Java Buddhists Association Afdeeling Buitenzorg
(Bogor) dibawah pimpinan A. Van der Velde sebagai ketua dan Oeij Oen Ho sebagai
sekretaris. Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java Buddhists
Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java Buddhists
Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia Budhists
Association (BBA) dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay sebagai ketua dan Ny. Tjoa Hin
Hoey seagai sekretaris. Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek Hoay
menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk dapat
bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association condong
menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association
yang condong menyebarkan ajaran Theravada.[12]
Pada jaman Kemerdekaan, perkembangan Agama Buddha dimulai kembali seiring
dengan munculnya kembali organisasi-organisasi Buddhis yang bergerak dalam
bidang sosial kemasyarakatan. Meskipun belum diakuinya Agama Buddha sebagai
agama negara yang resmi pada jaman Orde Lama, tapi pada masa inilah, tepatnya
tanggal 22 Mei 1953 telah diadakannya perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2497
Era Buddhis untuk pertama kalinya di Candi Borobudur.[13]
Setelah terhenti pada masa penjajahan Jepang, pada tahun 1952.
Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang
dipimpin oleh mendiang Ong Tiang Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu
Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia (GAPAKSI). Bagian kebaktian
dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan Buddha Tengger, membentuk
Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) pada tanggal 20 Februari 1952 di bawah
pimpinan The Boan An. Pada tanggal 20 Februari 1953, pukul 12.00 WIB didirikan
GSKI di Jakarta yang ditetapkan sebagai badan hukum dengan Penetapan Menteri
Kehakiman RI No. JA5/31/13 tanggal 9 April 1953.[14]
Tanggal 21 Mei 1959, Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi
Bhikkhu di “International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun
Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta. Pada hari yang sama I Ketut
Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya dan
Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Tanggal 3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya
ditahbiskan menjadi bhikkhu (pada tanggal 12-2-1976 sempat lepas jubah) oleh
Y.M. Narada Mahathera. Tanggal 26 Juli 1988 ia ditahbiskan kembali di Wat
Bovoranives, Bangkok dan diberi nama Thitaketuko.[15]
Dalam kasus Sri Lanka. Kasus Sri Lanka agak berbeda dengan di Indonesia.
Jika Sri Langka berhasil menjadikan Buddha sebagai agama resmi Negara, maka
perjuangan kaum Muslim di Indonesia justru gagal menjadikan Islam sebagai agama
Negara. Dalam kasus Sri Langka, Partai berhaluan agama (Buddha) “menempel” dulu
ke partai sekuler yang berkuasa, sebelum akhirnya berhasil meraih dukungan
mayoritas untuk menjadikan Negara Sri Lanka sebagai “Negara Buddha.[16]
2.2.1.4.Buddhaisme Zaman Orde Baru
Perkembangan Agama Buddha pada zaman Orde Baru diawali dengan ditahbiskannya
Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) menjadi Bhikkhu di Wat
Benchamabophit, Bangkok oleh Yang Mulia (Y.M.) Chau Kun Dhammakittisophon dan
diganti namanya menjadi Girirakkhito, pada tanggal 15 November 1966. Pada
tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya Bhikkhu Jinapiya untuk lepas
jubah, dan kembali menjadi umat Buddha biasa.[17]
Berdasarkan adanya situasi dan kondisi umat Buddha di Indonesia seperti
itulah, maka pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihara Maha
Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Semarang, beberapa orang bhikkhu dan
tokoh umat yaitu: Y.M. Bhikkhu Aggabalo, Y.M. Bhikkhu Khemasarano, Y.M. Bhikkhu
Sudhammo, Y.M. Bhikkhu Khemiyo dan Y.M. Bhikkhu Nanavutto; Bapak Suratin MS,
Bapak Mochtar Rasyid, dan Ibu Supangat, bersepakat untuk membentuk Sangha
Theravada Indonesia.[18]
2.2.1.5.Buddha Zaman Reformasi
Sudah 64 tahun semenjak kedatangan Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Sri
Lanka pada 1934, hingga tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998. Perkembangan
Agama Buddha di Indonesia terus mengalami dinamika. Berdasarkan Badan Pusat
Statistik tahun 2005 Departemen Agama Republik Indonesia, jumlah umat Buddha di
Indonesia berjumlah 2.242.833 orang. Jumlah ini belum termasuk umat Buddha yang
terdapat di pelosok-pelosok daerah.Berkembangnya media komunikasi seperti
internet ikut mempengaruhi perkembangan Agama Buddha di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan munculnya berbagai situs (website) bernuansa Buddhis berbahasa
Indonesia dan komunitas-komunitas Buddhis daring (online).
Pada tanggal 20 Agustus 1998 ditandatangani Konsensus Nasional Umat
Buddha Indonesia dengan membentuk wadah baru dengan mengubah nama Perwalian
Umat Buddha Indonesia menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI-Baru),
dengan dibubarkannya.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2005
menjelang perayaan Waisak 2549, atas peran pemerintah sebagai mediator, telah
terjadi kesepakatan bersama antara KASI dengan WALUBI-Baru mengenai perayaan
Waisak Nasional di Candi Borobudur. Pada tahun 2006 untuk pertama kalinya KASI
menyelenggarakan Waisak Nasional di pelataran Candi Borobudur.[19]
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas saya penyaji
menyimpulkan bahwa ketika sang Buddha wafat, ia tidak meninggalkan
pengajarannya berbentuk tulisan atau kitab tetapi ajarannya tersebut hanya
tinggal pada ingatan para rahib saja. Masuknya agama Buddha di Indonesia
terjadi sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui
jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan
Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa
(Sumatera) pada abad ke-7.
IV.
Refleksi
Teologis
Refleksi
teologis yang dapat saya ambil dalam hal ini
adalah Matius 28:19-20 berbunyi
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala
sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir zaman." Sebagai mahasiswa teologi yang juga
menjadi saksi dan murid Tuhan Yesus masa kini kita harus mengabarkan injil
dan memberitakan kebenaran Kristus
melalui penyebaran Agama Kristen. Kita harus siap menjadi penerus-penerus
Rasul-Rasul yang diutus oleh Yesus seperti yang tertulis di Lukas 10:1 “Kemudian dari pada itu Tuhan
menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua
mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya.” Tentu ada tuntutan bahwa kita sebagai murid
Tuhan kita harus siap mengabarkan injil sampai ke ujung dunia, dengan segala
tantangan dan rintangan yang kita hadapi dalam pemberitaan injil dan penyebaran
agama Kristen Allah akan tetap setia menemani, memberkati kita jika kita juga
setia kepada Tuhan seperi yang tertulis dalam Amsal 2:7-8 yang mengatakan bahwa
“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang
yang tidak bercela lakunya, sambil menjaga jalan keadilan, dan memelihara jalan
orang-orang-Nya yang setia.”. dan orang yang setia akan mendapatkan upah di sorga
(Wahyu 17:14).
V.
Daftar
Pustaka
Sumber Buku :
Hadiwijono
Harun,Agama Hindu dan Buddha, Jakarta:
Gunung Mulia, 2003
Juangari
Edij, Menabur Benih Dharma Di Nusantara, Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita,
1999
Kartini,
Indriana Demokrasi dan Fundamentalisme
Agama: Hindu di India, Buddha di Sri
Lanka dan Islam di Turki, CV.Andi
Offset, 2015
PGI Tim Balitbang, Meletas Jalan
Teologi Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: Bpk
Gunung Mulia,
2007
Singgih D. S. Marga, Tridharma dari Masa ke
Masa, Bakti, Jakarta, 1999
Wowor Cornelis, MA., 30 tahun Pengabdian Sangha
Theravada Indonesia – Awal Sangha
Theravada Indonesia, 2006
Widyadharma Sumedha, Agama
Buddha Dan Perkembangannya Di Indonesia, Tangerang: P.C. MAPANBUDHI, 1995.
Sumber Lain:
http://www.buddha.id/2015/08/awal-sejarah-masuknya-agama-buddha-di.html,
Diakses pada 13 Mei 2016, 23:28 Wib
https://krisnatri.wordpress.com/2014/12/07/kehidupan-politik-sosial-agama-masyarakat-kalingga-dan-sriwijaya/.
Diakses pada 14 Mei 2016, 11:28 Wib
http://jatimprov.go.id/read/profil/sejarah-singkat-provinsi-jawa-timur.
Diakses pada 15 Mei 2016, 02: 41 Wib
http://informasiana.com/sejarah-kerajaan-majapahit-hingga-runtuh/.
Diakses pada 15 Mei 2016, 03:27 Wib
http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agama-buddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/.
Diakses pada 15 Mei 2016, 04:00 Wib
http://bhagavant.com/buddhisme-di-indonesia-zaman-reformasi,
Diakses pada 16 Mei 2016, 00:14 Wib
[1]
Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2003),87-88
[2]
Tim Balitbang PGI, Meletas Jalan Teologi
Agama-Agama di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), 235
[3]
Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, 109
[4]
http://www.buddha.id/2015/08/awal-sejarah-masuknya-agama-buddha-di.html,
Diakses pada 13 Mei 2016, 23:28
[5]
https://krisnatri.wordpress.com/2014/12/07/kehidupan-politik-sosial-agama-masyarakat-kalingga-dan-sriwijaya/.
Diakses pada 14 Mei 2016, 11:28
[6] Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, 110
[7]
Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, 113,114
[8]
http://jatimprov.go.id/read/profil/sejarah-singkat-provinsi-jawa-timur.
Diakses pada 15 Mei 2016, 02: 41
[9] Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di Nusantara
, (Riwayat
Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita:1999), hlm. 10
[10]
http://informasiana.com/sejarah-kerajaan-majapahit-hingga-runtuh/.
Diakses pada 15 Mei 2016, 03:27
[11]
http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agama-buddha-dan-perkembangannya-di-indonesia/.
Diakses pada 15 Mei 2016, 04:23
[12] Ir. Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di Nusantara , (Riwayat
Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita: 1999), hlm. 5.
[13]
Ir. Edij Juangari, Menabur Benih Dharma Di
Nusantara , hlm. 19-21 dan 4
[14]
D. S. Marga Singgih, Tridharma dari Masa ke Masa, Bakti,
(Jakarta:), 1999hlm. 5-6
[15]
Sumedha Widyadharma, Agama Buddha Dan
Perkembangannya Di Indonesia, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang, 1995
[16]
Indriana Kartini, Demokrasi dan
Fundamentalisme Agama: Hindu di India, Buddha di Sri Lanka dan Islam di Turki,(
CV.Andi Offset:2015),149
[17]
Sumedha Widyadharma, Agama Buddha Dan
Perkembangannya Di Indonesia, P.C. MAPANBUDHI, Tangerang, 1995.
[18]Cornelis
Wowor, MA., 30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia
– Awal Sangha Theravada Indonesia,
2006, hlm. 98-99.
[19]
http://bhagavant.com/buddhisme-di-indonesia-zaman-reformasi,
Diakses pada 16 Mei 2016, 00:14 wib